14/01/2015 – Melihat Yogyakarta lewat #BelakangHotel

Pemutaran Film “Belakang Hotel” dan Talkshow tentang “Jogja Asat”

Hari, tanggal: Rabu, 14 Januari 2015
Pukul: 19.00 – 21.30
Tempat: Gedung Pameran Lantai 1 Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (eks. Purna Budaya)
Jl. Persatuan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Agenda:

  • Pemutaran Film “Belakang Hotel” (Produksi: Watchdoc, 2014); durasi 40 menit
  • Talkshow tentang kasus “Jogja Asat”

Narasumber:

  • Busyro Muqoddas (Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) *dalam konfirmasi
  • Totok Dwi Diantoro (Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Yogyakarta) *dalam konfirmasi
  • Eko Teguh Paripurno (Pusat Studi Manajemen Bencana UPN “Veteran” Yogyakarta)
  • Warga Miliran, Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta
  • Warga Gowongan & Penumping, Jetis, Yogyakarta
  • Warga Kotagede, Yogyakarta

Moderator: Clemon Elhaes

Konfirmasi kehadiran: SMS “Nama<spasi>alamat kampung/asal organisasi” kirim ke nomor 0895 0527 4811

Poster _ Belakang Hotel

Acara ini dan seri kegiatan warga berdaya, terbuka diikuti dan didukung oleh semua pihak yang mendukung prinsip dan praktik pembangunan yang lestari dan berkeadilan. Mari, dukung dan bergabung dalam gerakan Warga Berdaya Yogyakarta!

—————

Sejarah berdirinya Yogyakarta usai Perjanjian Giyanti (1755) dikisahkan dari dipilihnya lokasi kerajaan di sebuah mata air bernama Umbul Pacetokan. Kesaksian sang pekathik sultan tentang banyaknya burung kuntul yang hidup di sekitarnya menguatkan bahwa tempat itu adalah tempat yang baik dan memiliki air berlimpah. Namun, 259 tahun kemudian, terdengar teriakan-teriakan dari sejumlah sudut kampung di Yogyakarta bahwa air mulai menghilang. Sumur air warga mengering. “Jogja Asat”!

Peristiwa keringnya banyak sumur dangkal warga Yogyakarta baru satu kali terjadi, tahun 2014. Belum pernah ada peristiwa asat dalam pengalaman warga yang hidup di kampung-kampung padat di seantero kota. Sumur-sumur berusia ratusan tahun yang juga tersebar di banyak kampung itu pun hampir serentak mengering. Kemarau dengan suhu yang cukup tinggi disebutkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta sebagai satu faktor utama keringnya air sumur. Sementara, warga Yogyakarta memiliki pandangan lain tentang sebab “Jogja Asat”. Maraknya pembangunan gedung untuk fungsi hotel, apartemen, dan mall di Yogyakarta pada kurun waktu 2-3 tahun terakhir dipandang menjadi penyebab utama.

Pada tahun 2010, ada 26 hotel bintang di Kota Yogyakarta yang berdiri dan beroperasi, dengan 2.411 kamar. Jumlah ini naik pada tahun-tahun berikutnya, menjadi 31 hotel bintang dengan 2.979 kamar (2011), 37 hotel bintang dengan 3.356 kamar (2012), dan 43 hotel bintang dengan 4.002 kamar (2013). Ajaibnya, permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung untuk fungsi hotel kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta melonjak drastis pada bulan November – Desember 2013 yang mencapai 104 aplikasi. Hingga per 31 Desember 2014, dari 104 aplikasi permohonan IMB itu, 77 di antaranya sudah diterbitkan dan proses membangun telah dimulai. Konsekuensi dasar dari pertumbungan gedung tersebut adalah kebutuhan air baku untuk usaha perhotelan. Kebutuhan air baku ini dipenuhi dengan membuat dan mengoperasikan sumur air tanah dalam. Jumlah sumur air tanah dalam yang semakin banyak di lingkup wilayah kota Yogyakarta yang hanya 32,5 Km2 disinyalir menjadi penyebab utama keringnya sumur-sumur dangkal milik warga. Warga pun meneriakkan tuntutan pertanggungjawaban, baik kepada pengelola gedung (hotel) maupun kepada pemerintah kota.

Tuntutan warga dijawab pengelola hotel dengan sudut pandang sekedar kompensasi atau permintaan bantuan. Padahal, fokus perhatian warga ada pada aspek penegakan keadilan pemanfaatan sumber daya air di wilayah perkotaan. Pemerintah Kota Yogyakarta, walaupun terlambat, bertindak menutup beberapa sumur air tanah dalam milik hotel yang tidak berizin. Air sumur warga sekitar pun kembali muncul. Namun, pemerintah kota justru mengarahkan usaha hotel untuk memenuhi air bakunya melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Padahal, sumber air PDAM juga sebagian besar berasal dari sumur air tanah dalam. Untuk memenuhi volume kebutuhan air baku, hotel bisa tidak mengoperasikan sumur air tanah dalam sendiri, tetapi tetap akan menghabiskan air tanah kawasan yang mereka ambil melalui PDAM. Jadi, bicara “Jogja Asat” tidak bisa sebatas satu per satu hotel dan kampung, tetapi harus bicara pada konteks kawasan.

Pemerintah Kota Yogyakarta seakan lupa bahwa ketika izin hotel diberikan, harus ada perhitungan atas jumlah air yang dibutuhkan. Data ilmiah atas perhitungan yang seharus tercantum dalam dokumen lingkungan sebagai lampiran IMB diragukan keakuratan dan kebenarannya. Faktanya, dampak dari pengoperasian sumur air tanah dalam oleh hotel sangat tampak dari keringnya sumur warga kampung di sekitar hotel. Pada titik ini terjadilah perebutan sumber daya air, antara hotel dengan back-up pihak yang berkepentingan dan berkeuntungan atas hotel, dihadapkan dengan masyarakat masyarakat. Sementara, pemerintah kota dan daerah terus membiarkan izin diberikan, tanpa mendorong dilakukannya bagaimana menanam air. Tidak ada program tanam air yang terintegrasi antara pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Uang pendapatan yang dihasilkan dari proses izin dan pajak usaha perhotelan pun tidak digunakan untuk langkah pelestarian sumber daya air. Ketidakadilan terjadi dan masyarakat diajak bertempur langsung dengan pihak hotel.

Film “Belakang Hotel” yang diproduksi secara gotong-royong oleh para jurnalis video dan komunitas warga di Yogyakarta mendokumentasikan bagaimana dampak keringnya air sumur warga di kampung Miliran, kampung Gowongan, dan kampung Penumping. Ketiga kampung itu berada tepat di belakang hotel yang dibangun dan beroperasi dalam kurun waktu 1-2 tahun yang lalu. Kasus ini merupakan puncak gunung es dari hal yang cukup kompleks, mulai dari urusan perizinan dan pengelolaan tata ruang kota dan sumber daya publik yang terkandung di dalamnya. Walaupun kini air telah kembali karena musim hujan sudah tiba, tetapi upaya mitigatif harus dilakukan agar “Jogja Asat” tidak terulang di waktu-waktu ke depan.

Pemutaran film ini mendorong keterlibatan aktif warga dan siapa saja yang memiliki kepedulian pada kelestarian dan keadilan pemanfaatan sumber daya air untuk menjadi bagian aksi ke depan. Ada tiga langkah solusi yang disiapkan sebagai wadah partisipasi dan kolaborasi gerakan warga berdaya, meliputi:

1. Kita boikot hotel yang bermasalah
Hotel yang melanggar prinsip dan peraturan lingkungan pantas untuk diboikot. Laporkan hotel-hotel yang tidak memenuhi kaidah pembangunan yang benar ke media-media gerakan Warga Berdaya. Secara berkala, testimoni publik ini akan diolah untuk menerbitkan daftar hotel beraport buruk dan daftar hotel beraport baik. Publik dapat menyebarkan daftar itu agar hotel pelanggar peraturan diboikot oleh publik. Pihak hotel sebagai pelaku usaha harus mematuhi aturan yang berlaku dan jika terbukti melanggar, harus didesak untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya secara hukum.

2. Kita dukung masyarakat Yogyakarta yang mendapatkan masalah
Kampung-kampung di Yogyakarta terbagi atas kampung yang  telah terdampak oleh hotel, kampung yang sedang terancam pembangunan hotel, dan kampung yang  belum terancam. Namun, logika mitigasi harus digunakan pada seluruh komunitas warga kampung dengan menguatkan kapasitas pengetahuan warga tentang prinsip, proses, dan dampak pembangunan. Gerakan warga berdaya telah memulai inisiatif melakukan pendidikan lingkungan ke kampung-kampung yang melibatkan para praktisi, akademisi, seniman, dan siapapun agar warga siap ketika harus berhadapan dengan rencana pembangunan baru di lingkungan mereka. Dukungan atas pengetahuan dan informasi yang benar juga sangat dibutuhkan oleh warga kampung yang mendapatkan masalah atas dampak terbangunnya hotel di lingkungan tempat tinggalnya.

3. Kita ingatkan pemerintah Yogyakarta yang membuat masalah
Pemerintah kota dan daerah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas pemberian izin pembangunan hotel yang melampaui daya dukung lingkungan Kota Yogyakarta. Birokrasi perizinan yang dikelola pemerintah harus diawasi dengan ketat oleh warga, agar ketika terjadi pemberian izin di luar prinsip peraturan yang benar, langkah-langkah antisipasi bisa dilakukan. Masyarakat juga harus mendorong dikelolanya sumber daya dan pendapatan daerah pemanfaatan atas sumber daya tersebut secara adil, sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Peraturan/regulasi yang tidak up to date dan tidak memihak kepada kepentingan publik harus segera diperbarui dan dibenahi agar tidak justru merugikan kepentingan publik.

Tiga langkah solusi di atas akan terus didorong untuk digiatkan oleh gerakan warga berdaya melalui proses pendidikan kritis kepada publik tentang tata ruang dan lingkungan yang akan digelar di kampung-kampung di seantero Yogyakarta. Perbaikan kondisi lingkungan melalui terbangunnya pemahaman kritis pada komunitas warga adalah tujuan dari gerakan ini. Isu hotel dan Kota Yogyakarta menjadi penanda awal dari gerakan yang akan semakin dalam menyentuh lebih banyak isu dan kawasan yang lebih luas.

Sila akses dan manfaatkan media-media berikut ini untuk berbagi informasi tentang tiga langkah solusi di atas:

—————

Acara ini diselenggarakan oleh warga Yogyakarta secara gotong royong, dengan dukungan dari berbagai pihak:

  • Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (PKKH UGM)
  • Kedai Kebun Forum
  • Yayasan Kampung Halaman
  • WALHI Yogyakarta
  • Arsitek Komunitas Jogja
  • Combine Resource Institution
  • IVAA
  • UPC
  • Jerami
  • MDMC PP Muhammadiyah
  • Pemuda Tata Ruang (Petarung)
  • BEM Fakultas Geografi UGM
  • serta para relawan; warga, mahasiwa, dll

Screenshot from 2015-01-10 20:15:58

.

6 thoughts on “14/01/2015 – Melihat Yogyakarta lewat #BelakangHotel

Leave a reply to Fahmi (catperku.info) Cancel reply